Friday, June 29, 2012

Siapkan Diri Menjadi Coach yang Efektif

Coaching adalah satu dari banyak aspek pengembangan diri menuju posisi strategis. Siapkah anda menjadi seorang coach? Bagaimana prinsip-prinsip dasarnya?
Oleh : Rina Suci Handayani A
Apa yang terlintas di benak anda tentang coaching? ”Seseorang mengajarkan saya dan saya pun mengajarkan orang lain,” jawab Nia seorang staf administrasi yang juga menangani payroll perusahaannya. Sedangkan bagi Permata Nomalina bekerja sebagai Sales Executive Ibis Arcadia, Jakarta Pusat, coaching ia maknai sebagai pelatihan, pengarahan dan pembinaan dari supervisornya. ”Menurut saya, coaching bukan berarti mengandalkan orang lain. Bukan coach yang memberi solusi tapi musti kita yang menentukan solusi sendiri,” kata Ema pangilan akrabnya.
Opini di atas berdasarkan pengalaman pribadi dari individu yang belum pernah belajar dasar-dasar coaching. Pendalaman dasar-dasar coaching, HC hadirkan dari Executive Partner Farina&Associates (FA) Farina Pane – FA bergerak di bidang pelatihan dan pengembangan SDM, Farina mengungkapkan dasar-dasar dan manfaat coaching dalam coaching workshop yang diadakan oleh FA di Hotel Mulia, 20 Desember 2010 lalu.
”Coaching is not process. Coaching is mind set,” Farina yang berpengalaman lebih dari 13 tahun sebagai praktisi SDM ini menekankan prinsip dasar dan utama tentang coaching. Ia menganalogikan kesempatan pengembangan diri ibarat sarang lebah. Ada banyak aspek dalam pengembangan diri dan salah satunya adalah coaching. Farina juga menyebutkan counseling, mentoring dan formal learning sebagai aspek lainnya. Dan masih banyak aspek lainnya.
Lalu apa definisi dari coaching itu sendiri? “Coaching adalah mengikat seseorang dalam percakapan yang bermakna untuk memfasilitasi pengembangan diri mereka. Syarat coaching adalah mendengarkan (listening), bertanya (questioning), challenging (menawarkan tantangan/peluang berkembang), dan memberikan saran (advising),” Farina menjelaskan arti coaching dengan lebih detil.
Coach yang efektif tidak lahir instant. Apa kuncinya? Menurut Farina adalah mau menjalankan prinsip-prinsip dasar coaching. “Kapal Titanic karam karena menghantam dasar gunung es. Puncak gunung esnya memang terlihat masih jauh, tapi dasar gunung es yang tidak tampak itu ternyata besar. Dasar gunung es ini ibarat prinsip-prinsip dasar coaching,” Farina mengibaratkannya. Sedangkan puncak gunung es, ia ibaratkan sebagai perilaku (behaviour) yang tampak bila prinsip dasar sudah diterapkan dengan kuat.
Apa saja prinsip dasar coaching ini? Farina menyebutkan 10 prinsip dasar yang perlu dibangun oleh setiap coach. Pertama, coach berkomitmen untuk mendukung pengembangan individu (coachee/orang yang dilatih). Kedua,coach bersikap terbuka, fleksibel dan percaya diri. Ketiga, hubungan coaching dibangun atas dasar kejujuran, keterbukaan dan kepercayaan. Keempat, coachee bertanggungjawab atas hasil atau keputusan yang ia pilih. Kelima, setiap coachee memiliki potensi terpendam (hidden potential) yang bila terkuak satu saat, akan berdampak signifikan dalam meningkatkan kinerjanya.
Keenam, seorang coach fokus kepada pikiran dan pengalaman coachee. Ketujuh, coach memberikan pertanyaanpertanyaan agar mengerti perspektif coachee. Kedelapan, coach fokus kepada tindakan-tindakan yang mengarahkan coachee mencapai solusi. Kesembilan, dalam percakapan coaching, coach menempatkan diri seimbang (tidak merasa lebih tinggi atau lebih pakar) terhadap coachee. ”Kita semua membuat asumsi tentang orang lain, baik secara sadar maupun tidak sadar. Sebagai coach, kosongkanlah pikiran anda dan tinggalkan segala asumsi,” Farina menyebutkan prinsip yang ke-10.
Memulai dari diri sendiri, hal tersebut menjadi kunci utama keefektifan seorang coach. ”Kalau mau coachee percaya diri, maka coach harus percaya diri terlebih dulu,” Farina mencontohkan. Alasan itu masuk akal, bagaimana seorang coach mampu mendukung pengembangan orang lain, jika ia sendiri tidak mampu mengembangkan dirinya. Maka pemahaman dini tentang coaching pun penting untuk diingat.
”Tujuan coaching adalah menumbuhkan kesadaran (raise awareness) dan tanggung jawab (responsibility) dari coachee,” kata Farina. Apa maksudnya? Ia menjelaskan bahwa seorang coach yang efektif tahu bagaimana menumbuhkan kesadaran coachee untuk meningkatkan kinerjanya. Sehingga, setiap keputusan coachee adalah keputusan yang ia tentukan sendiri. ”Keputusan yang dibuat sendiri akan lebih dipertanggungjawabkan dari pada keputusan yang ditentukan oleh manajernya,” kata Farina.
Coaching bukan hanya bermanfaat bagi coachee yang ingin berkembang, juga bermanfaat bagi coach itu sendiri. Farina menyebutkan bahwa seorang coach bila diganjar dengan kematangan soft skill. ”Bisa jadi lebih sabar, wise dan mampu berpikir strategis juga efektif,” kata Farina.
Salah satu praktisi SDM berpendapat bahwa coaching bermanfaat untuk semua orang. Tapi tidak hanya bermanfaat bagi praktisi SDM saja, juga untuk karyawan yang memiliki anak buah. ”Membantu saya dalam teknik bertanya, menentukan, atau identifikasi masalah dalam memberikan solusi terbaik. Selain itu, melatih kita tidak cepat berasumsi yang dapat merugikan semua pihak. Jika analisa yang saya berikan tepat dan sesuai kebutuhan, maka hal ini sangat menunjang masa depan karier saya,”jelas salah satu praktisi SDM peserta coaching workshop hari itu.
”Setiap orang itu unik,” komentar Farina tentang individu. Berdasarkan hal tersebut, seorang coach perlu mengetahui pola percakapan coaching yang disarankan. Ada dua opsi pola percapakan dalam coaching yaitu percakapan direktif dan non direktif. Farina pun menyimulasikan percakapan tersebut dengan contoh ringan. ”Bila ada staf yang salah, ia kita panggil dan ceramahin, tanpa memberi ia kesempatan bicara. Bayangkan jika anda diperlakukan seperti itu, apakah akan timbul kesadaran untuk memperbaiki kesalahan? Bisa jadi anda memperbaikinya tapi karena merasa takut, bukan karena kesadaran sendiri,” jelas Farina tentang pola percakapan direktif.
Kemudian, opsi berikutnya adalah percakapan non direktif. Peran coach yaitu mengajukan pertanyaanpertanyaan yang menumbuhkan kesadaran coachee tentang kesalahannya. ”Misalnya coaching dalam penilaian kinerja, coach mengajukan pertanyaan yang menumbuhkan kesadaran coachee. Setiap pernyataan coach harus berdasar pada fakta dan data,” kata Farina. Mengapa? ”Agar tidak terjebak pada rumor dan coachee lebih tahu lagi apa yang perlu ditingkatkan dan diperbaiki,” jawabnya.
Dalam percakapan pola direktif, kesan yang timbul adalah coach sebagai individu yang otoriter. Sedangkan dalam percakapan non direktif, coach bisa berperan sebagai individu netral dan dipercaya, sehingga coachee merasa nyaman mengungkapkan kebutuhannya untuk berkembang. Namun bukan berarti pola direktif tidak boleh digunakan. ”Setiap pola percakapan baik direktif maupun non direktif bisa dikombinasikan, yang penting coach tahu kapan waktu yang tepat untuk menerapkannya,” kata Farina.
Dalam sesi interaktif Farina dan peserta coaching workshop-nya, ia bertanya tentang aspek-aspek coaching kepada setiap kelompok. Dengan lugas salah satu kelompok menjelaskan bahwa seorang coach yang efektif bersikap seperti malaikat. ”Pikirannya bersih, bebas prasangka, dan tidak mendakwa (no judging),” kata mereka.
Farina pun membenarkan pendapat tersebut. ”Ya, coach memang seperti malaikat walaupun kita manusia. Simpan dulu semua masalah anda sendiri sebagai coach dan berikan hati, komitmen, juga pikiran bersih anda untuk coachee,” kata Farina menutup penjelasannya.
Bila anda ingin mencapai level coach, bisa jadi kebahagiaan terbesar anda adalah melihat coachee anda maju dan berkembang. Pertanyaannya, apakah anda siap dan mau mendukung coachee anda? Hanya anda yang tahu jawabannya.
sumber: 

No comments:

Post a Comment