Friday, June 29, 2012

CORAK PENDIDIKAN SEKS (3)


Selama pendidikan seks merupakan bagian mendasar dari ajaran-ajaran Islam, maka coraknya yang sangat berbeda dengan corak pendidikan seks rekaan manusia dan akan tetap eksis sebagai aspek yang muncul dari Islam. Lain halnya dengan konsep pengembangan manusia dalam bidang pendidikan seks, aspek kognitif, dimensi spiritual, atau sosial. Tetapi walaupun demikian, ekspresi corak pendidikan seks Islam dapat disempurnakan dengan dibantu oleh corak-corak hasil pengembangan ahli-ahli itu.
Pendidikan seks dimulai sejak dalam pencip­taan manusia, yaitu ketika sedang berada dalam kandungan ibunya sampai akhir dari kehidupan. Seorang pendidik tidak akan mampu melaksanakan pendidikan seks pada saat usia bayi. Sebab jika hal tersebut dilakukan, upayanya akan sia-sia—tidak pada tempatnya. Adapun pendidikan fisik dan emosi, urusannya berbeda-beda. Hal itu dikarenakan pertumbuhan fisik dan emo­sional lebih dahulu daripada pertumbuhan seks. Sedangkan apa yang dikemukakan oleh peneliti Barat (misalnya, Freud menye­butkan bahwa telah terjadi aktivitas seksual pada bayi seperti pengisapan jari, menyusu, atau seperti buang air besar, dan permainan terhadap anggota seks ternyata tidak bisa dikukuh­kan secara ilmiah.
Ketika ada perkembangan sebagian aspek pada diri sese­orang yang mendahului aspek lainnya, pendidikan berupaya untuk menggabungkan setiap corak untuk setiap aspek individu sejak awal pertumbuhannya. Kemudian pendidikan berupaya membinanya sampai pada masalah permainan, supaya sesuai dengan sisi-sisi manusiawinya dan tabiat emosionalnya, walaupun permainan tersebut sekadar menggambarkan fenomena pertumbuhan fisik, emosi, dan sosial. Didalam buku saku ini akan dikemuka­kan secara ringkas beberapa corak pendidikan seks yang terpen­ting.

CORAK KETUHANAN DALAM PENDIDIKAN SEKS
Maksud dari corak ini adalah bahwa pengajaran­ seks itu bersumber pada Ketuhanan dan disandarkan kepada ajaran-ajaran Allah Swt. Dengan demikian, sebagaimana seluruh pengajaran Islam berasal dari Allah—baik dalam masalah ekonomi, politik, administrasi, keluarga, perang, dan sebagainya—begitu pula aspek pendidikan seks yang diperuntukan untuk berbagai tingkatan usia merupakan penjabaran dari ketetapan Allah Swt.
Ketika pendidikan seks dan sumbernya bercorak ketuhanan (rabbaniyyah), seorang pendidik muslim hendaklah berupaya mengikat perilaku seksual dengan memperhatikan tujuan kehambaan manusia. Oleh karena itu, seorang muslim dituntut agar berupaya merealisasikan sisi penting kehambaannya, dengan memandangnya sebagai realitas umum, yaitu melalui keiman­annya kepada Ketuhanan. Pembuat syariat  telah menjelaskan semua aktivitas kejiwaan yang salah satunya adalah masalah aktivitas seks dalam naungan penghambaan kepada Allah. Oleh karena itu, seorang anak harus dididik agar mampu memahami adanya ikatan yang kuat antara aktivitas seks suci yang akan terjadi kelak ketika dirinya telah dibebani kewajiban syara, dengan tujuan penciptaan seorang hamba. Maka, dilihat dari sisi ini seks adalah bagian dari ibadah. Pembuat syariat memadukanaktivitas seksual dengan sisi keruhanian dan moralitas.
Satu hal yang tidak disangsikan lagi adalah bahwa konsep ketuhanan akan mampu merealisasikan kehormatan sebagai­mana yang dipahami oleh seorang hamba. Sehubungan dengan itu, manusia dituntut untuk menjaga kehormatannya dan mengendalikan emosinya terhadap seks. Kemudian dalam menyalurkan hasrat seksnya, hendaklah dilakukan oleh dirinya sesuai dengan jalan yang telah disyariatkan. Ketika seseorang telah mengenal ketuhanan dan ajaran-ajarannya, ia akan lebih mampu menjaga dan mengendalikan diri dari tuntutan seks. Selanjutnya, pendidikan seks yang merupakan bentuk penghambaan diri ini tidak akan dapat direalisasikan oleh manusia hanya dengan kontrol yang kuat, pengendalian diri pada perkara-perkara yang haram, dan semata-mata mengandalkan kerelaan jiwa. Tetapi harus berdasarkan pada pengetahuan batasan-batasan Allah, keridaan, balasan, serta adanya sentuhan keimanan ruhani.

CORAK KEMANUSIAAN DALAM PENDIDIKAN SEKS
Teori pendidikan seks islami bagi anak-anak memiliki keisti­mewaan dengan selalu memperhatikan sifat kemanusiaan untuk memperkukuh aspek keagungan, kehormatan, dan kesucian manusia. Pendidikan seks islami tidak memberikan kelonggaran kepada orangtua untuk bebas melihat aurat anaknya sambil dibarengi hasrat, kecuali jika ada tujuan-tujuan yang sesuai dengan syara (misalnya, membersihkan auratnya dari najis atau membantu anak memakaikan pakaiannya dengan syarat tidak melihat aurat dibarengi dengan hasrat). Hal itu karena Islam menuntut adanya kehati-hatian pada permasa­lahan ini dan tidak membenarkan melihat aurat anak dibarengi hasrat dan rasa nikmat. Islam telah menetapkan batasan-batasan­nya dan menetapkan bahwa memandang aurat anak sama dengan memandang aurat orang lain yang dilarang. Hal itu dimaksudkan agar tidak melahirkan hasrat yang dilarang serta menjaga sisi kemanusiaan anak tersebut.
Syariatmenyerukan untuk memuliakan aurat anak. Ketika ia telah dewasa akan merasa malu ketika dipandang oleh orang lain. Oleh karena itu, seorang pendidik muslim hemdaklah menuntut anak didiknya agar menutupi auratnya jangan sampai dipandang oleh orang lain. Ia harus terus telaten mendidiknya agar tersusun seperti itu dan memberikan batasan-batasan tentang aurat tersebut dengan hukum-hukum yang mesti diajarkan oleh kedua orangtua kepada anaknya secara bertahap sesuai dengan pertumbuhan daya nalar dan fisiknya (misalnya, hukum bersuci setelah buang air kecil, buang air besar, membersihkan kedua tangan setelah buang air besar, memberitahukan batasan aurat, menentukan tempat buang hajat supaya jauh dari tempat ramai, seperti jalan, atau jauh dari bagian rumah).
Adapun pandangan Barat menganggap bahwa dimensi seks adalah sekadar hiburan dan pelampiasan hasrat biologis. Mereka lupa—bahkan terkadang disengaja—menyembunyikan sebagian hukum pokok yang mencerminkan kemuliaan manusia. Terkadang mereka sengaja menganjurkan untuk telanjang supaya lekuk tubuh manusia dapat dilihat, padahal fenomena-fenomena tersebut nyata-nyata menimbulkan dampak bahaya sangat besar dalam pendidikan seks. Selain itu, Islam juga memandang sangat tidak normal jika pendidikan tersebut semata-mata ditujukan untuk masalah seks an sich, tidak memperhatikan aspek moral yang akan mengukuhkan eksistensi kemanusiaan seorang anak.

CORAK INTEGRALITAS PENDIDIKAN SEKS
Sebenarnya aturan-aturan tentang pendidikan seks adalah satu kesatuan yang sebagiannya menyempurnakan sebagian yang lain. Oleh karena itu, para pendidik—baik ia seorang bapak, guru, atau orang lain—tidak boleh menganggap enteng terhadap pendidikan tersebut dengan sekadar mengajarkan sebagian aturan-aturan yang menata urusan seks dan meremehkan pengaplikasiannya terhadap kaidah-kaidah yang lain. Sebab metoda pendidikan seks dalam Islam adalah satu kesatuan yang sempurna dan tidak dapat dipisahkan. Bahkan pendidikan seks tersebut tidak akan memberikan buah dan hasil yang baik, jika pendidik tidak mengaplikasikannya secara menyeluruh dengan menekankan pada anak didik untuk mengikatkan antara aturan-aturan tersebut dengan hukum Is­lam. Oleh karena itu, ketika seorang pendidik mengajarkan tentang pentingnya membuat tempat tidur khusus untuk seorang anak yang terpisah dari saudaranya-balk laki-laki maupun perempuan, hal tersebut dapat dipahami adanya hak pribadi anak, hak memakai pakaian yang terpisah dari keramaian, serta seseorang tidak boleh masuk ke dalam kamarnya tanpa seizinnya dan tanpa alasan tertentu.
Selanjutnya aturan yang integral ini diarahkan kepada lingkungan baik yang memungkinkan anak kecil, remaja, atau orang dewasa untuk dapat berpersepsi baik terhadap masalah seks. Dengan demikian, seorang pendidik juga dituntut untuk mendidik generasi muslim sesuai tuntutan syara terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah seks, agar ia tahu bahwa corak prilaku seks saling tumpang tindih dan masing-masing corak mempengaruhi corak yang lain.
Contoh dalam hal ini, Ketika seorang perempuan menginjak usia dewasa yang ditandai datangnya haid atau rutinitas bulanan, hal ini adalah indikasi yang jelas terhadap adanya perubahan pada diri seorang anak perempuan tersebut. Pendidik Barat mengajarkan kepada perempuan terse­but bahwa hal itu merupakan "kematangan psikologis" dan seks yang mempersiapkan seorang anak perempuan untuk menghadapi masa baru yang belum dirasakan sebelumnya. Se­dangkan syariat tidak hanya memandang sebatas itu. Tetapi ia mengajarkan tentang hukum-hukum syara bagi perempuan yang mulai haid tersebut dan menentukan hukum-hukum lain yang berkorelasi dengan haid tersebut. Islam menyatakan bahwa seorang perempuan yang sedang haid tidak perlu mengganti salat. Tetapi harus mengganti puasanya yang tertinggal. Dan ia juga tidak boleh menyentuh AI-Quran. Dari sini tampak dengan jelas bahwa mendidik seorang anak perempuan dalam pandangan Islam tidak akan sempurna jika sekadar mengajarkan sebagian hak-hak  anatomi dan membatasi sebagian perkembangan jiwanya yang baru. Kesempurnaan mendidiknya harus diajari hukum-hukum syara secara detail untuk menghadapi berbagai perubahan tersebut. Demikianlah, seorang pendidik ha­rus berperan dalam menerangkan tentang nilai-nilai pendidikan seks dan hukum-hukumnya secara menyeluruh tanpa terpisah­-pisahkan.
Keistimewaan pendidikan seks yang dilakukan secara kontinuitas tidak akan terbukti selain dengan menampakkan adanya pemikiran pendidikan seks yang menyeluruh bagi anak atau dewasa. Pendidikan tersebut tidak akan sukses dalam kehi­dupan individu-individu, jika pembinaannya hanya terbatas pada ketentuan-ketentuan khusus pada kanak-kanak akhir dengan pertimbangan bahwa hal itu sekadar mempersiapkan anak didik untuk menghadapi kondisi-kondisi yang baru. Kesuksesan pendidik adalah berupayanya seorang pendidik secara maksimal untuk mengajarkan pada anak didik ketika menginjak usia dewasa tentang perubahan-perubahan ini, mem­berikan pemahaman tentang hukum-hukum syara disela-sela pertumbuhan psikis yang lain seperti adanya tanda-tanda kede­wasaan dan kecerdasan.

CORAK KEBERSINAMBUNGAN PENDIDIKAN SEKS
Ketika seluk-beluk seks membutuhkan adanya proses kesi­nambungan yang disebabkan adanya kekuatan pengaruh yang menimpa seseorang-baik secara hakiki maupun non-hakiki (menjelang adanya perilaku peniruan), pendidikan seks harus ditangani secara kontinu sampai akhir usia. Prinsip-prinsip seperti ini tidak hanya dilakukan dalam pendidikan seks, tetapi juga merupakan prinsip ajaran secara menyeluruh, baik secara konsep, teoritis, aplikatif, dan bidang-bidang yang lainnya. Pendidikan seks—baik bagi anak-anak maupun orang dewa­sa—yang dilakukan secara kontinu, biasanya dimulai dari rumah yang perannya sangat mencolok sebagai lembaga pendidikan paling mendasar. Kemudian hal itu dilangsungkan pada lembaga­-lembaga pendidikan sosial lainnya. Oleh karena itu, ketika seorang pendidik mulai mengajari anak didiknya tentang kaidah-kaidah seks yang telah ditetapkan AI-Quran dan Sunah, la harus meneruskannya pada pembinaan seks dan akh­lak, ditambah mengikutsertakannya dengan hal-hal baru yang dapat dilaksanakan dalam seluruh lembaga ini. Saya sama sekali tidak setuju dengan teori yang menyatakan bahwa lembaga­-lembaga pendidikan kita yang ada tidak mampu mengikat prinsip kontinuitas. Bagaimana pun juga bahwa keluarga telah berupaya membina prilaku yang suci ini, namun hal itu "diporakporandakan" oleh media-media infor­masi, atau malah sebaliknya.
Upaya kontinuitas yang dilakukan oleh seorang pendidik tidak akan sempurna, jika sekadar dilakukan pada lembaga­-lembaga pendidikan. Tetapi pendidikan seks harus dilangsungkan pada seluruh masa pertumbuhan anak yang lainnya, khususnya pada masa kanak-kanak dan masa remaja. Sebab sifat biologis ini akan "matang" ketika la dewasa, sehingga menyebabkan adanya perubahan-perubahan jelek yang mengacaukan akhlaq keindividuannya. Maka syariat meletakkan hukum-hukum syara untuk menata perilaku sebelum anak terse­but memperoleh beban syara dan menuntut pula agar hal itu diteruskan ketika anak telah mencapai usia dewasa, yaitu pada masa-masa kebanyakan manusia tenggelam dalam kondisi manusiawinya.
Prinsip kontinuitas pendidikan adalah hal penting untuk menjamin keberhasilan pendidikan seks secara Islam bagi manu­sia. Sebab pengajaran, pembinaan, dan pendidikan dalam masalah ini akan sempurna dengan adanya persiapan yang diupayakan untuk menghadapi berbagai perubahan di masa mendatang. Dan hal itu tidak dimaksudkan bahwa seorang pendidik meng­hentikan usahanya ketika seorang telah mencapai dewasa. Sebab pembinaan diusia kanak-kanak merupakan persiapan bagi anak yang bersangkutan untuk menghadapi perubahan-perubahan seks yang akan terjadi diusia dewasa. Setelah mencapai usia dewasa, ada sejumlah etika-etika lain yang ditetapkan oleh pembuat syariat untuk menata hubungan suami-isteri di antara individu. Meremehkan masalah ini sangat berbahaya. Sebab banyak sekarang ini begitu bertubi-tubi "pendidikan busuk" yang mempengaruhi periode kanak-kanak akhir (menjelang remaja).

BERCORAK REALISTIS
Pendidikan seks ditujukan kepada realita nyata yang tujuannya adalah membicarakan tentang fenomena-fenomena ilmiah tentang hasrat seks pada organ tubuh manusia. Oleh karena itu, hendaklah tidak menyandarkan pada penelitian nega­tif yang salah atau pembicaraan dan kepentingan yang tidak mendasar. Sebab syariat telah meletakkan hukumnya secara real untuk menanggulangi urusan-urusan seks dan perubahan-­perubahan psikis dan fisik yang berkorelasi dengan seks.
Sebelumnya telah dijelaskan penting­nya membicarakan masalah seks dan hukum-hukum syara secara nyata dan benar. Dengan demikian, ketika seorang pendidik membicarakan tentang air mani, sel telur, dan cara proses pem­bentukannya, ia harus menunjukkan pengetahuan-pengetahuan yang nyata tentang urusan ini tanpa berlebih-lebihan.
Sebagai contoh, realitas konsep dalam masalah haid. al-Quran mengharamkan seorang suami menggauli istrinya yang sedang haid. Bahkan seorang suami harus membayar denda (kifarat) jika menggauli istrinya yang sedang haid. Tidak disangsikan lagi bahwa ketentuan tersebut menunjukkan realitas yang diperkuat oleh bukti ilmiah bahwa haid, sebagaimana tertera dalam Al- Quran, adalah “penyakit (adza)”, sehingga dilarang bersenggama dengan perempuan yang sedang haid. Dalam kacamata ilmiah hal tersebut tidak disangsikan lagi. Sebab organ seksual perempuan dan kondisi—pada saat—jiwanya tidak sedang normal akan menyebabkan adanya penyakit pada tubuh dan jiwanya.
Ahli-ahli medis menjelaskan bahwa bersenggama dengan wanita yang sedang haid adalah berbahaya (misalnya, akan menyebabkan berjangkitnya bakteri pada kelamin dan bagian penis, akan meluasnya radang-radang ke berbagai saluran rahim, saluran air kencing, kandung kemih, dan akan berjangkitnya penyakit-penyakit lain dibagian bawah punggung dan bawah perut, akan merasa pusing, tidak bergairah, suhu badan perempuan penurun). Selain secara fisik, terdapat juga bahaya-bahaya kejiwaan lainnya (misalnya, adanya rasa susah, rasa sedih, berubahnya watak, dan cepat “naik darah”). Di sinilah dapat terbaca dengan jelas bahwa larangan bersenggama dengan istri yang sedang haid, karena akan menimbulkan bahaya-bahaya pada suami dan istri.
Ada contoh lain berkaitan dengan realitas pendidikan seks yang perlu dikemukakan di sini. Contoh yang dimaksud adalah: Hukum-hukum Islam sangat sesuai dengan aktivitas tersebut dan sesuai dengan tingkatan perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Sehubungan dengan itu, ketika seorang peneliti tidak menemukan nash-nash dalam Al Quran dan Sunah yang menjelaskan penataan perilaku seks bagi anak pada usia-usia awal, seperti watak ingin menyusu, hal tersebut berarti menjelaskan suatu realitas bahwa tidak ada kehidupan seks pada masa-masa tersebut. Berbeda dengan pendapat yang diyakini oleh Freud dan para pendukungnya yang mengatakan adanya naluri seks yang tecermin dalam keinginan menyusu, mengisap jari-­jari tangan, buang air besar, dan berkeliat. Ketika Freudisme meyakini adanya fitrah seks pada diri anak, syariat mengisyarat­kan tentang kemungkinan adanya aktivitas seks secara dini atau adanya kelainan seks karena disebabkan pengaruh bercampurnya anak dengan yang lain, dan itu terjadi pada usia remaja. Oleh karenanya, kita menemukan banyak ayat dan hadits yang ber­kenaan dengan hal tersebut. Dan para ilmuwan Barat sendiri mengakui realitas pandangan Islam.

CORAK GRADUASI PENGAJARAN DAN PELATIHAN SEKS
Parapendidik diperintahkan agar mendidik anak tentang aturan-aturan pendidikan seks secara bertahap, yaitu dengan tidak memulai langkah-­langkah baru sebelum selesai dan kukuh pada diri anak tentang langkah-langkah sebelumnya. Itu pun disesuaikan dengan pertumbuhan fisik anak sebagai suatu corak mendasar yang dipegang oleh pendidik dalam proses pendidikan seks pada anak.
Perlu diperhatikan juga bahwa prinsip graduasi ini harus sesuai dengan prinsip AI-Quran dan Sunah dalam pembinaan anak-anak muslim. Seorang pendidik memulainya dengan pen­didikan seks yang cocok dengan umur anak. Di gambaran gra­duasi yang tepat adalah sang pendidik mengajarkan tentang pentingnya minta izin ketika hendak masuk ke kamar orang lain, khususnya ke kamar kedua orangtuanya, ketika ia sudah berusia 4 atau 5 tahun. Jika seorang pendidik sudah merasa bahwa anak yang berusia 6 atau 7 tahun telah tamyiz, pendidik harus mulai mendidik tentang cara minta izin, sehingga ia mampu menguasai pemikiran tersebut dan melaksanakan sebagai akhlaknya. Seorang pendidik-bapak atau ibunya-harus mengingatkan tentang pentingnya minta izin ditiga waktu­ sebagaimana disebutkan AI-Quran. Dan ketika anak sudah men­dekati usia remaja atau masa puber, pendidik harus mengalihkan perhatian anak pada arti penting dari minta izin kepada keluarganya dalam setiap waktu. Sehingga jika dirinya telah dewasa, ia sudah mengetahui kewajibannya secara sempurna.
Sebagaimana seorang pendidik mengajarkan kaidah-kaidah tentang minta izin pada anak-anak tamyiz dan membina akhlaknya, seorang pendidik juga harus mengajarkan tentang cara-cara melakukan perbuatan lain, (misalnya, tidak boleh menghadap kiblat atau membelakanginya ketika buang air besar atau istinja, kemudian mengajarkan cara bersuci setelah buang air kecil, dan bersuci setelah buang air besar). Kemudian, ketika seorang anak telah mencapai usia 12 tahun sampai usia dewasa, seorang pendidik harus mengajarkan tatakrama mandi. Namun, tidak cukup upaya sang pendidik ini sampai di situ, jika seorang anak merasa sudah mimpi, namun la tidak mengetahui tentang mandi junub atau cara pelaksanaannya secara benar, pendidik harus berulang-­ulang mengajarkannya secara cepat. Inilah graduasi mengaplikasikan hukum-hukum dan aturan-aturan yang telah ditentukan oleh Islam dalam pendidikan seks untuk anak-anak kita.
Sesungguhnya proses pendidikan seks yang dilakukan secara bertahap harus sesuai dengan beberapa pertimbangan. Pertama, tingkat pertumbuhan dan perkembangan wawasan anak, hal tersebut telah kita jelaskan di atas; kedua, jenis kelamin, apakah dia laki-laki atau perempuan. Karena kedua jenis ini akan berbeda kematangannya pada masalah seks. Menurut kese­pakatan para peneliti bahwa pertumbuhan pada perempuan lebih cepat dibandingkan pada laki-laki. Dalam hal ini, tahapan yang dilakukan pada urusan seks itu lebih ringkas waktunya dibandingkan dengan anak laki-laki. Sebab masa dewasa anak laki-laki berkisar antara usia 13, 14 atau 15 tahun. Sedangkan pada perempuan tingkat kematangan seksnya berkisar antara usia 9 atau 10 tahun, khususnya di negeri kita yang panas.
Sehubungan perbedaan tingkat kematangan seks antara laki-laki dan perempuan merupakan keniscayaan, seorang pendidik harus mempersiapkan pendidikan seks pada diri anak perempuan dengan waktu yang lebih singkat. Sehubungan dengan itu, prinsip graduasi dalam mempersiapkan pendidikan seks disesuaikan dengan jenis kelamin. Dengan demikian, tahapan pembinaan seks pada anak laki-laki lebih luas masanya. Sedangkan pada anak perempuan itu lebih sempit.
Selain itu, perbedaan diatas terkait dengan usia dewasa dan persiapan seksual yang cocok untuk keduanya dengan mem­pertimbangkan perbedaan daya persepsi dan kedewasaan pada periode sebelum seorang anak mencapai usia dewasa-menje­lang umur dewasa. Sebab perbedaan kematangan seks antara laki-laki dan perempuan mendorong juga pada cepatnya per­kembangan akal pada perempuan dan lambat pada laki-laki. Oleh karena itu, tidak logis menyamakan perkembangan wawasan antara keduanya, ketika tuntutan pembinaan seks pada perempu­an lebih singkat sementara pada anak laki-laki lebih lama. Perbedaan tersebut sangatlah jelas dari sisi kecerdasan keduanya, meskipun perbedaan tersebut tidak terlalu signifikan. Dan ke­mungkinan taraf kecerdasan tersebut akan seimbang ketika keduanya telah sama-sama dewasa.
Jika tidak karena daya nalar anak perempuan itu lebih pesat perkembangannya daripada anak laki-laki, pasti proses pembina­an seks pada anak perempuan pun tidak akan lebih singkat. Dengan demikian, hal tersebut menuntut adanya upaya pemikir­an yang tidak bisa dianggap enteng. Sementara pada anak aki-laki prosesnya akan mudah karena waktunya lebih lama. Masa persiapan pada anak perempuan adalah 9 atau 10 tahun. Sementara pada anak laki-laki bisa mencapai 16 atau 17 tahun di negara yang beriklim sedang, sehingga tidak bisa membantu percepatan kematangan seks. Secara khusus pendidikan seks pada anak perempuan menuntut upaya keras yang tidak bisa dianggap remeh.

By : Yusuf Saeful Berlian

DAFTAR PUSTAKA

Abi, 2007, Tingkat Aborsi di Indonesia Capai 2,3 Juta” Available at http://www.republika.co.id.html//[12/08/2007]
Artikel Lepas/INTISARI Maret 1997
Cbn. 2007. “Soal Seks, Wanita Masih Terpinggirkan”. Available at http://www.radarbanjar.html//[12/08/2007]
Ceria—Cerita remaja Indonesia; situs informasi kesehatan seksual dan sosial remaja
FX. Rudi Gunawan, 2006, “Memahami seksualitas, menolak RUU APP”. Available at http://www.sadar.com.html// [12/08/2007]
M. Quraish Shihab, 1996.  Wawasan Al-quran . Bandung; Mizan
Madan, Yusuf. 2004. Sex Education For Children, Panduan Islam bagi Orang Tua dalam Pendidikan Seks untuk Anak. Hikmah. Kelompok Mizan. Bandung.
Nuraini J, 2000, “Kebudayaan yang Maskulin, Macho, Jantan, dan Gagah” Available at http://www.kunci.or.id.html//[12/08/2007]
Relawan YAI, 2001, “Budaya dan Modernisasi Pengaruhi Perilaku Seks”.  Available at http://www.ceria.com.html//[12/08/2007]
Relawan YAI, 2001, “Gender”.      
           Available at http://www.ceria.com.html//[12/08/2007]
Senior, 2007. “Soal Seks, Wanita Masih Terpinggirkan”, Available at http://www.PortalCBN.com.html//[12/08/2007]
W. Berry, John, et all, 1999. “Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi”. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.


No comments:

Post a Comment