Friday, June 29, 2012

SEKS LINTAS BUDAYA (6)

SEKS LINTAS BUDAYA (6)
By : Yusuf Saeful Berlian

Budaya ketimuran khususnya Islam, memandang bahwa pendidikan seks itu sangatlah penting, dari anak-anak hingga dewasa kelak. Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, pendidikan seks ini telah disebutkan dalam Al-Quran An Nur ayat 58:
 “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) Yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana
Dari ayat diatas merupakan salah satu perintah untuk memberikan pendidikan seks pada anak-anak. Beberapa masyarakat terlihat masih tabu berbicara mengenai seks, tetapi lucu juga ketika ketabuan itu muncul, nyatanya seks bebas sudah ada dimana-mana, mungkinkan itu diakibatkan tidak dikembangkannya pendidikan seks di Indonesia.

Seksualitas Pandangan Islam
Allah menciptakan Nabi Adam dari tanah, kemudian Allah ciptakan siti Hawa dari tulang rusuknya. Penciptaan Nabi Adam dan siti Hawa ini, menunjukan bahwa manusia diciptakan oleh Allah secara berpasangan. Saling berpasangannya manusia, berarti adanya perasaan saling membutuhkan dan saling melengkapi antara keduanya dalam berbagai hal.
Sebagaimana Firman Allah :
(Allah) pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan, dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan pula, dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan cara itu……Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia Yang Maha mendengar Lagi Maha Melihat ( QS al-Syura (42):11).
Allah, menciptakan manusia dengan berbagai sifat yang dimilikinya. Salah satu sifat yang dimiliki manusia yaitu bahwa manusia memiliki hawa nafsu dan dorongan seksual. Dorongan seksual yang dimiliki manusia harus bisa disalurkan sesuai dengan aturan dan ketentuan Allah (halal). Salah satu cara penyaluran dorongan seksual yang dibenarkan oleh agama yaitu, dengan menyalurkannya pada pasangannya masing-masing. artinya, bahwa jika laki-laki memiliki dorongan seksual dan harus disalurkan, maka penyalurannya harus dengan wanita yang menjadi pasangannya.
Dorongan seksual atau kebutuhan seksual ini, pasti dimiliki oleh setiap manusia. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Freud maupun oleh Maslow, bahwa kebutuhan seksual merupakan kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan ini memiliki energi yang sangat besar. Selain itu, salah satu adanya dorongan seksual pada manusia yaitu disebabkan oleh sistem hormonal dalam tubuh manusia. Dalam tahap perkembangan manusia, tahap remaja merupakan puncak dimana perkembangan hormonalnya sedang tinggi, dan merupakan tahapan dimana terjadinya masa pubertas. Pada masa ini, remaja mulai menaruh perhatian atau adanya ketertarikan terhadap lawan jenis. Di dalam konsep islam, pada tahapan ini merupakan tahapan dimana manusia dikatakan telah mencapai kedewasaan (baligh).
Pada masa baligh ini, dengan adanya rasa ketertarikan terhadap lawan jenis, maka mulailah proses pengenalan (keinginan untuk mengenal lebih jauh terhadap lawan jenis). Setelah proses pengenalan, terjadilah suatu proses yang dinamakan “masa pacaran”. Hal ini berlanjut sampai memasuki tahap dewasa awal. Pada masa dewasa awal, mulai munculnya keinginan untuk menjalin hubungan yang lebih jauh dengan lawan jenis (keinginan untuk berhubungan seks).
Dalam pandangan islam, seks bukanlah sesuatu yang kotor atau najis, tetapi bersih dan harus selalu bersih. Seseorang tidak perlu menghindar dari seks, bahkan Allah sendiri yang memerintahkannya secara tersirat melalui Law Of Sex, dalam surat Al-Baqarah (2); 187, yang berbunyi;
Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu. Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka (istri-istrimu), dan carilah apa yang ditetapkan Allah untukmu.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
istri-istri kamu adalah ladang (tempat bercocok tanam) untukmu, maka datangilah (garaplah) ladangmu bagaimana saja kamu kehendaki.
Dari kedua ayat tersebut di atas, jelas bahwa seorang laki-laki bisa memenuhi kebutuhan seksualnya jika dilakukan dengan yang menjadi pasangannya (yaitu istrinya). Ikatan antara laki-laki dan perempuan ini, harus diikat melalui suatu ikatan pernikahan supaya bisa menjadi pasangan yang sah, baik di mata hukum maupun dimata agama. Sehingga dengan demikian, hubungan seksnya menjadi halal.
Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis Nabi;
Hubungan seks kalian menjadi halal atas dasar kalimah Allah
Kalimat Allah yang dimaksud adalah kedua lafadz (kata) nikah dan Zawwaj (kawin) yang digunakan dalam Al-quran.
Selain itu, dengan adanya ayat ini, maka Allah tidak membenarkan adanya suatu hubungan seks yang dilakukan di luar pasangannya (tanpa ikatan yang resmi). Bahkan dalam suatu ayat disebutkan, bahwa laki-laki yang berzina tidak pantas mengawini seorang perempuan kecuali perempuan yang berzina.
Firman Allah:
Laki-laki yang berzina tidak (pantas) mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak pantas dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik (QS Al-Nur (24); 31).
Dengan demikian jelaslah bahwa suatu hubungan seks, haruslah dilakukan dalam keadaan yang halal dan bersih.
Karena hubungan seks harus bersih, maka hubungan tersebut harus dimulai dan dalam suasana suci dan bersih; tidak boleh dilakukan dalam keadaan kotor, atau situasi kekotoran. Karena itu, Rasulullah Saw. Menganjurkan agar berdoa menjelang hubungan seks dimulai. 
Dengan kehalalan dan kebersihan hubungan seks yang terjadi, maka akan melahirkan generasi yang baik. Dengan lahirnya generasi-generasi penerus yang dilandasi oleh hubungan seks yang bersih dan halal, maka akan menciptakan peradaban yang baik pula.

Beberapa Penelitian Memandang Seks
Dalam sebuah penelitian Lesslie Butt Ph.d, seorang peneliti Aksi Stop AIDS Family Health International (ASA/FHI) bekerja sama dengan United State Agency for International Development (USAID) dan Lembaga Penelitian Universitas Cendrawasih menggali hubungan antara rata-rata infeksi HIV/AIDS dan kebudayaan dan perubahan sosial di Papua. Alasannya sejumlah penelitian menyebutkan bahwa 97 persen faktor penyebaran HIV/AIDS di Papua melalui hubungan seksual. Propinsi ini memiliki prevalensi kasus HIV/AIDS paling tinggi di Indonesia.
Dampak modernisasi lingkungan seksual Papua di antaranya komersialisasi hubungan seksual, konsep dan perilaku baru, perubahan struktur perkawinan dan tanggungjawab keluarga. Efek modernisasi menyebabkan seks komersial lebih tersebar luas melalui mobilitas ke kota. Ini didorong hal-hal baru seperti film porno dan minuman keras.
Ada empat macam perilaku seksual berisiko tinggi dalam masyarakat. Di antaranya prosentase responden yang berhubungan seks pertama kali di bawah umur 16 tahun, seks laki-laki di atas umur 30 tahun dengan wanita di bawah usia 20 tahun remaja 25 tahun yang pernah berhubungan seks sebelum usia 20 tahun dan yang pernah melakukan seks. Semua itu berkaitan dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS dan penggunaan kondom. Responden yang pernah mendengar HIV/AIDS dan yang bisa menyebut kondom masih kecil.
Sebagai warga Indonesia kita pastinya khawatir dengan apa yang terjadi. Memang hal itu ternyata tidak terlepas dari pandangan budaya terhadap seksualtas, dari paparan diatas. Penyusun cukup mendapat sumber yang sepadan mengenai pandangan tersebut. Di Indonesia  tingkat aborsi masih cukup tinggi dibanding dengan negara-negara maju di dunia, yakni mencapai 2,3 juta abortus per tahun.
Prof DR Wimpie Pangkahila dari Bagian Andrologi dan Seksologi Unud, di sela-sela seminar pendidikan seks di Sanur, Rabu mengatakan, dari jumlah warga yang melakukan aborsi, diantaranya satu juta merupakan abortus spontan, 0,6 juta disebabkan oleh kegagalan program KB, dan 0,7 juta karena tidak pakai alat kontrasepsi KB. 
Ia mengatakan, tingginya abortus di tanah air disebabkan minimnya tingkat pengetahuan mengenai pendidikan seks. Karena pendidikan seks itu masih dianggap tabu dan merupakan produk dani negara barat.
Diambil dari kutipan DR Wimpie, katanya : "Kalau masih beranggapan pendidikan seks adalah milik masyarakat barat, apa bedanya dengan ilmu kedokteran yang kita adopsi dari negara barat. Maka dari itu untuk mempelajari pengetahuan seks mesti dari berbagai dimensi pendidikan,"
Menurutnya, boleh saja mengatakan seks itu tabu, tetapi kenyataan di masyarakat dalam kurun waktu dua puluh tahun telah terjadi perubahan persepsi dan perilaku seksual di masyarakat, termasuk di kalangan remaja.
Salah satu contoh dapat kita ambil dari aktivitas pelajar atau remaja yang sudah berani terang-terangan berpelukan dan ciuman di muka umum. Hal itu secara tidak langsung bahasa seksual telah mereka adopsi secara mentah-mentah.
Dalam era globalisasi, betapa penting dan perlunya pendidikan seks diberikan kepada masyarakat, khususnya melalui sekolah. Karena dengan pendidikan itu dimasukkan dalam kurikulum, mereka sejak dini telah mengetahui seks yang boleh dan tidak. Akan tetapi, beberapa reaksi penolakan terhadap pendidikan seks cukup kuat, dengan alasan bahwa pendidikan seks bukan budaya kita, melainkan budaya barat.
Sebuah problem tersendiri ketika perubahan persepsi dan perilaku seksual yang terjadi sangat dahsyat ternyata dibiarkan begitu saja, padahal perubahan yang luar biasa itu menimbulkan kesenjangan di tengah masyarakat. Akibatnya terjadilah berbagai akibat, seperti anak-anak menjadi kejahatan seksual, mudahnya berlangsung hubungan seksual pranikah, kehamilan pranikah, tingginya kejadian aborsi termusuk rentannya penularan penyakit menular seksual (PMS).
Penulis berfikir, pandangan budaya terhadap seks pun tak terlepas dari pandangan mereka terhadap Gender. Penulis teringat akan artikel tentang “Kebudayaan yang Maskulin, Macho, Jantan, dan Gagah”  yang ditulis oleh Nuraini Juliastuti dalam salah satu situs. Dalam artikel itu membahas beberapa pertanyaan mengenai “Mengapa semua laki-laki harus maskulin dan perempuan harus feminin? Mengapa laki-laki harus tampak jantan dan perempuan harus tampil lembut? Mengapa semua laki-laki cenderung mempunyai posisi lebih tinggi dari perempuan? Apakah hanya karena persoalan dia "laki-laki" dan dia "perempuan? Ataukah karena "dikonstruksikan secara sosial"?
Kembali Berbicara mengenai seks lintas budaya, dalam sebuah artikel yang berjuduk “Soal Seks, Wanita Masih Terpinggirkan” dalam artikelnya menjelaskan bahwa pada dasarnya  seksualitas mewakili hubungan yang kompleks antara berbagai faktor seperti fisiologis, psikologis, dan budaya. Pada zaman lampau, di kebanyakan budaya, perilaku seksual yang diterima berdasar pada premis yang menyebutkan bahwa pria butuh dan berhak atas seks, sementara kesenangan atas seksual pada wanita harus dinomorduakan setetah si pria terpenuhi kebutuhan seksualnya dan kegiatan reproduksi dilaksanakan.
Nilai-nilai yang hidup di abad ke-19 masih terlihat tabu dan larangan terutama bagi wanita. Wanita pada dasarnya hanyalah alat untuk mengamankan kelangsungan hidup manusia lewat prokreasi dan memenuhi kesenangan pria. Karena itu, hanya demi kesehatan seksual prialah semua kegiatan seks itu berjalan. Namun, di zaman modern ini, pandangan ini sudah sangat ketinggalan alias kuno. Wanita menyadari bahwa dirinya setara dengan pria, termasuk dalam kehidupan rumah tangga dan perannya sebagai orangtua.
Hak-hak sosialnya, tanggung jawabnya, profesinya, serta keuangan sudah otonom disadari menjadi miliknya. Pada saat yang sama, para wanita menyadari adanya sudut pandang baru mengenai fungsi seksual mereka. Mereka menyadari bahwa seksualitas tidak hanya berfungsi sebagai kegiatan prokreasi atau pembentukan manusia baru, melainkan merupakan kegiatan rekreasi untuk mendapatkan kepuasan.
Seksualitas Budaya Jawa
Bagi budaya jawa seksualitas merupakan simbol yang  terbentuk dan hadir sebagai permainan wacana dan sarana pelatenan atas hal-hal yang bersifat wadak. Tetapi, di balik itu ia juga menyiratkan sebuah "kebenaran-esensial".
Penyiratan "kebenaran-esensial" ini terjadi karena adanya motif tentang hal yang dianggap tabu, tidak sopan, untuk menyembunyikan kehormatan seseorang, untuk menyindir, untuk menyampaikan sebuah konsepsi, atau untuk kepentingan estetika.
Simbol yang paling halus dan paling rumit dalam khazanah budaya Jawa adalah simbol yang berkaitan dengan seks. Ini terjadi karena persoalan seks bagi masyarakat Jawa dianggap sebagai masalah yang tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Maka, seksualitas sering kali ditampilkan sehalus mungkin, secara tidak langsung atau tersirat.
Di sisi lain, persoalan seksual—selain sebagai persoalan mistik (religi) dan kesaktian (laku)— juga merupakan persoalan yang sebenarnya paling banyak dibicarakan dalam cerita-cerita tradisional. Seksualitas dalam budaya Jawa adalah hal yang dalam ekspresinya kontradiktif: paling digemari tetapi paling disamarkan.
Simbol seksual tertulis secara gamblang dapat diamati pada kitab Pararaton yang ditulis pada abad ke-16. Di sana dikisahkan bagaimana tokoh Ken Arok yang berawal dari seorang preman kemudian berhasil menjadi Raja Singasari bergelar Rajasanegara Sang Amurwabhumi. Keberhasilan Ken Arok menjadi raja terinspirasi ketika secara tidak sengaja melihat kain yang dipakai Ken Dedes, istri Tunggul Ametung—saat itu memegang tampuk kekuasaan di Tumapel—tersingkap.
Ken Arok melihat bagian bawah pusar putri tersebut bercahaya; rahasyanirakaton murub (rahasianya yang menyala). Bawah pusar Dedes yang bercahaya dalam Pararaton disebut sebagai cahaya naraiswaraatau nariswari, yang berarti rahasia ratu. Sementara kala itu terdapat kepercayaan: siapa saja yang mampu memperistri wanita yang mempunyai nariswari dapat menjadi dan melahirkan raja-raja di tanah Jawa.
Tersingkapnya kain Ken Dedes ini sebenarnya dapat dimaknai sebagai sebuah metafor di mana terjadi perselingkuhan antara Ken Arok dan Ken Dedes, yang lalu melebar menjadi konspirasi politik untuk menyingkirkan Tunggul Ametung, penguasa Tumapel.
Di masyarakat Jawa persoalan seksual tidak saja dianggap sebagai "kenikmatan", lebih dari itu selalu tak lepas dari kekuasaan. Motif seks dan kekuasaan yang bermula dari strategi Ken Arok inilah yang kemudian menjadi strategi ampuh yang ditiru dan terbukti berdaya guna oleh kerajaan-kerajaan di tanah Jawa sesudahnya.
Perkawinan politik yang merupakan perwujudan kuasa seksual terhadap kepentingan kekuasaan sebagai sesuatu yang sah dan formal dapat dilihat pada cerita Panji Semirang yang di susun pada masa pemerintahan Kameswara II di Kediri (1104-1222). Cerita Panji Semirang berbeda dengan Pararaton. Di sini lebih banyak bercerita tentang percintaan dan ujung-jungnya terjadi perkawinan antara Inu Kertapati dan Candra Kirana yang membuat empat negara—kediri, Kahuripan, Gegelang, dan Singasari—bersatu.
Simbol seksual di tanah Jawa sebenarnya sudah muncul sejak masa prasejarah, tetapi dengan wujud representasi genitalia dengan dikenalnya kultus phallistic berupa batu tegak. Ketika agama Hindu masuk, kultus phallistic ini segera berubah menjadi pemujaan kepada lingga dan yoni, yang kemudian jadi populer.
Secara mitologis, lingga dan yoni adalah perwujudan dari dewa tertinggi, Siwa, dan istrinya, Parwati. Dalam cerita Dewadaru-Mahatmya, Siwa menampakkan diri sebagai pemuda tampan bertelanjang bulat di depan asrama putri, yang mengakibatkan kegemparan. Pendeta pimpinan asrama mengutuk agar kemaluan pemuda itu jatuh.
Dan, jatuhlah lingga seiring terjadinya gempa bumi yang dahsyat sehingga memaksa para dewa lain memohon agar Siwa memasang kembali lingganya. Siwa menyanggupi dengan syarat manusia menghormati lingganya, kemudian lingga Siwa yang jatuh ditampung oleh Dewi Parwati, istri Siwa yang mengubah dirinya menjadi yoni.
Simbol-simbol seksual ada yang tampak kasar dan mengerikan. Seperti ditemukan di Tulangagung di Dukuh Patik dan Dukuh Ngreco di Trenggalek: arca raksasa jongkok dengan genital yang terayun keluar cawat di sebelah kiri. Penis yang terayun keluar cawat di sebelah kiri tersebut sering dihubungkan dengan ritus pemujaan Tantrayana aliran kiri (niwrti) yang dianggap sesat oleh aliran kanan (pravrtii), yang melakukan praktik panca-ma yang bertujuan mengajarkan penganutnya, mendapatkan kesaktian. Ritual mabuk- mabukan hingga pesta orgi seperti pada Tantrayana di zaman Kartanegara, raja terakhir Singasari (abad ke-14), digambarkan sebagai suatu perayaan sadistis yang tidak lepas dengan mayat, darah, dan seksual.
Masih banyak pemaknaan simbol-simbol seks dalam budaya dan seni Jawa. Hal ini menandakan, soal seks di masyarakat kuno ini memiliki peran yang tidak kecil dalam kehidupan sehari-hari mereka, di tingkat terbawah hingga puncaknya. Satu kenyataan yang boleh jadi belum bergeser hingga saat ini. Seperti terbukti pada beberapa kasus seks yang terungkap akhir-akhir ini.

Seksualitas menurut Psikologi
Kebutuhan seks merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Kebutuhan seks ini timbul dikarenakan adanya suatu dorongan dalam diri individu yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Misalnya kebutuhan seks ini muncul dikarenakan adanya ketertarikan terhadap lawan jenis. Bagaimana kita bisa tertarik terhadap lawan jenis? Faktor-faktor yang mempengaruhi ketertarikan ini tentunya berbeda yang hal itu dapat dipengaruhi oleh konteks budaya yang menyertainya. Bagaimanakah bentuk ketertarikan orang-orang dalam beberapa konteks budaya?
Festinger, Schachter, & Back, (1950), mengemukakan bahwa kedekatan mempengaruhi daya tarik seseorang. Orang-orang yang tinggal berdekatan lebih banyak menimbulkan ketertarikan satu sama lain. Dengan demikian dapat disumsikan bahwa orang yang tinggal berdekatan dan memiliki intensitas kedekatan interpersonal yang dalam, dapat menyebabkan seseorang memiliki ketertarikan satu sama lain. Patzer (1985), mengemukakan bahwa daya tarik fisik merupakan suatu hal yang sangat penting dalam membina hubungan interpersonal. Daya tarik lebih penting bagi seorang laki-laki dalam memandang seorang perempuan. Hal ini diperkuat oleh pandangan Buss (1988), yang mengemukakan bahwa orang-orang di Amerika Serikat lebih banyak memilih pasangan yang memiliki daya tarik fisik dalam membina hubungan romantis.
Selain hipotesis-hipotesis di atas, banyak yang berpendapat bahwa untuk membina hubungan yang bertahan dalam jangka waktu yang lama, sampai terbinanya suatu kehidupan rumah tangga, maka dibutuhkan suatu perasaan “cinta”.
Suatu penelitian lintas-budaya dilakukan oleh Ting-Toomey (1991), mengenai sikap seseorang terhadap perasaan cinta dan romantisme (love and romantic). Dia membandingkan commitment, kedekatan ambivalensi, ekspresi konflik, dengan membuat suatu rating terhadap 781 orang subjek yang berasal dari Perancis, Jepang, dan Amerika Serikat.
Love commitment diukur dengan melakukan rating terhadap perasaan attachment,  perasaan saling memiliki, dan komitmen terhadap pasangan. Sedangkan kedekatan didapatkan dengan melakukan rating terhadap perasaan bingung atau ketidakpastian dalam hubungan. Dan ekspresi konflik didapatkan dari frekuensi argumen-argumen yang berlebihan dan keseriusan masalah yang dihadapi suatu pasangan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa di Perancis dan Amerika, memiliki rating yang tinggi terhadap Love Commitment dan discolsure maintenance (kedekatan) dibandingkan dengan di Jepang. Sedangkan di Amerika lebih tinggi ratingnya pada Ambivalensi, dan di Jepang lebih tinggi ratingnya pada ekspresi Konflik.
Dan yang lebih mengejutkan dari semuanya yaitu, terdapat pilihan yang berbeda dari semua budaya yang berbeda terhadap skala item yang disajikan. Bagi orang-orang Amerika Serikat, mereka lebih memilih orang-orang yang ekspresif, terbuka, dan memiliki rasa humor, sebagai pasangan hidup mereka. Dan bagi orang-orang Rusia, mereka lebih memilih orang-orang yang terampil dalam bercinta yang dijadikan sebagai pasangan hidup mereka. Sedangkan bagi orang-orang Jepang,mereka kurang memperhatikan (tidak memprioritaskan) orang-orang yang memiliki daya tarik fisik, status, baik dan pengertian, dan pembicara yang baik.
Dari berbagai penjelasan di atas sekarang dapat lebih kita ketahui bagaimana pengaruhnya budaya terhadap seks, yang hal itu berpengaruh pula terhadap penerapan pendidikan seks di budaya bersangkutan. Pada intinya, bagaimana dan dimanapun budaya berada pendidikan seks mesti diterapkan kepada anak hingga dewasa kelak, agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti mengidap penyakit menular seksual—HIV, AIDS, dll.


DAFTAR PUSTAKA

Abi, 2007, Tingkat Aborsi di Indonesia Capai 2,3 Juta” Available at http://www.republika.co.id.html//[12/08/2007]
Artikel Lepas/INTISARI Maret 1997
Cbn. 2007. “Soal Seks, Wanita Masih Terpinggirkan”. Available at http://www.radarbanjar.html//[12/08/2007]
Ceria—Cerita remaja Indonesia; situs informasi kesehatan seksual dan sosial remaja
FX. Rudi Gunawan, 2006, “Memahami seksualitas, menolak RUU APP”. Available at http://www.sadar.com.html// [12/08/2007]
M. Quraish Shihab, 1996.  Wawasan Al-quran . Bandung; Mizan
Madan, Yusuf. 2004. Sex Education For Children, Panduan Islam bagi Orang Tua dalam Pendidikan Seks untuk Anak. Hikmah. Kelompok Mizan. Bandung.
Nuraini J, 2000, “Kebudayaan yang Maskulin, Macho, Jantan, dan Gagah” Available at http://www.kunci.or.id.html//[12/08/2007]
Relawan YAI, 2001, Budaya dan Modernisasi Pengaruhi Perilaku Seks”.  Available at http://www.ceria.com.html//[12/08/2007]
Relawan YAI, 2001, Gender”.       
           Available at http://www.ceria.com.html// [12/08/2007]
Senior, 2007. “Soal Seks, Wanita Masih Terpinggirkan”, Available at http://www.PortalCBN.com.html//[12/08/2007]
W. Berry, John, et all, 1999. “Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi”. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

No comments:

Post a Comment