Friday, June 29, 2012

MENGAPA ANAK-ANAK HARUS DIBERIKAN PENDIDIKAN SEKS? (2)





Oleh: Yusuf Saeful Berlian

Orangtua manapun tentunya selalu menginginkan anaknya menjadi anak yang baik. Anak adalah generasi yang diciptakan untuk kehidupan masa depan. Sepantasnya orang tua memberikan bekal pendidikan yang menyeluruh, termasuk pendidikan seks. Orang tua dituntut memiliki kepekaan, keterampilan dan pemahaman agar mampu memberi informasi dalam porsi tertentu, yang justru tidak membuat anak semakin bingung atau penasaran. Orangtua adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap anak dalam masalah pendidikan, termasuk pendidikan seks.
Diharapkan setelah dewasa kelak, akan dapat mengetahui masalah-masalah yang diharamkan dan dihalalkan; bahkan mampu menerapkan perilaku islami dan tidak akan memenuhi naluri seksualnya dengan cara-cara yang tidak islami. Seorang anak sebelum sampai pada masa perkembangan selanjutnya, membutuhkan persiapan dini yang akan menjadikannya mampu menghadapi perubahan-perubahan yang akan mengiringi perkembangan dirinya. Sangatlah betul pendapat yang mengatakan bahwa masa kanak-kanak adalah masa kosong dari kencederungan seksual aktif.
Dalam sistem pendidikan Islam telah menyiapkan sekumpulan hukum-hukum fiqih untuk menata perilaku seksual. Dalam sistem pendidikan Islam berupaya untuk mendidik anak-anak tentang seks tersebut sebagai bentuk persiapan untuk menghadapi fase selanjutnya, yaitu perkembangan organ yang akan mengaktifkan kelenjar reproduksinya. Jika pendidik muslim baik di rumah atau pun di sekolah, masjid maupun di seluruh pendidikan yang lain—mampu menerapkan aturan-aturan Islam dalam bidang ini, anak tersebut akan menerima dengan penuh kesiapan masa perkembangannya atau masa pertumbuhannya, serta akan merespon perubahan-perubahan yang terjadi dengan perilaku yang dapat menata kepribadiannya bersama komposisi yang suci.
Penyiapan pendidikan seks sejak dini akan menjadikan pada masa perkembangan selanjutnya sebagai unsur baru yang akan memberi andil pada kepribadiannya serta tidak membuatnya berada dalam kondisi kritis ketika dewasa. Hal ini ditambah dengan kemampuan lainnya yang akan membantunya untuk merealisasikan yang paling ideal atau rasional yang sesuai dengan kebalighannya yang disertai berbagai perubahan yang terus berlanjut.
Ketentuan-ketentuan Islam seperti dimakruhkannya melakukan senggama di depan anak, mendidik anak untuk meminta izin ketika akan masuk ke tempat orang dewasa, pemisahan tempat tidur anak laki-laki dan anak-anak perempuan dan dilarangnya memasang hal-hal yang merangsang seks dihadapan anak-anak, merupakan pola-pola persiapan pendidikan seks sejak dini. Hal ini dimaksudkan agar ketika anak sampai pada fase kematangan seks mampu merespon perubahan-perubahan baru dengan persepsi perilaku yang benar dan tersimbol dengan kesucian.
Perlu ditekankan di sini bahwa persiapan tersebut tidak sekadar dimulai pada masa kanak-kanak saja, akan tetapi harus terus berlangsung hingga pada masa perkembangan selanjutnya. Sebab kaidah-kaidah praktis yang tidak bisa disampaikan kepada anak sebelum sempurna kematangan seksualnya. Hal ini dikarenakan pula bagi seorang anak walaupun telah mampu masa baligh, hubungan seksual tidak penting baginya, tetapi dibutuhkan kelak kalau dia sudah baligh.
Pada masa ini pendidik dituntut untuk memperkenalkannya sedikit demi sedikit, namun disyaratkan untuk menghimpun berdasarkan pengetahuan yang ilmiah dan etis sesuai dengan pandangan Islam.
Sebelum kematangan seksual didapatkan oleh seorang anak, pendidikan seks hendaknya dimulai sejak itu. Hal tersebut tiada lain karena Islam menghendaki langkah-langkah preventif yang akan menjaga anak dari beragam aktivitas yang akan membangkitkan gairah seksual dan akan mempengaruhi perkembangan dia selanjutnya. Dengan demikian seorang anak sebelum mencapai usia baligh telah memiliki pengetahuan, pelatihan dan pendidikan yang akan membantunya untuk berinteraksi dengan keinginan seksualnya, sehingga ia akan mampu menyesuaikan dirinya tanpa kesulitan dan sangat teratur yang jauh dari akhlaq yang tercela.

PENDIDIKAN SEKS SEBAGAI TANGGUNG JAWAB BERSAMA
Ada sebuah hadits yang berbunyi, "Masing-masing dari kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya." Hadits yang luhur ini menetapkan makna tanggung jawab bersa­ma—baik individu, kelompok, atau lembaga—dalam memben­tuk generasi islami kaum remaja dan pemuda yang terdandani dengan kehormatan diri, istiqamah, mengendalikan diri dari penyimpangan-penyimpangan hasrat seksual, dan sebagainya. Rumah yang merupakan lembaga pendidikan utama, sekolah, media informasi, dan perkumpulan-perkumpuIan, semuanya bertanggung jawab terhadap bangunan moral umat. Jika masya­rakat dengan anggota-anggota dan lembaga-lembaganya tidak melaksanakan peranan ini, semuanya akan dituntut di hadapan Allah Swt., berdasarkan tuntutan dalam hadits yang telah lewat dan ayat, “Dan tahanlah mereka (ditempat perhentian) karena sesungguhnya mereka akan ditanya.”
Tanggung jawab bersama ini menuntut individu atau lembaga pendidikan agar memiliki visi yang sama dalam pendidikan seks yang dimulai dari fase perkembangan awal, yaitu masa kanak-kanak, dan berlanjut dalam setiap fase pertumbuhan pri­badi dalam menghadapi perubahan-perubahan penting dan mendasar dari aspek pertumbuhan jiwa ini. Sangat tidak masuk akal sebuah rumah dibangun, sementara media informasi dan lingkungan sekolah menghancurkannya. Sebab seluruhnya saling berkaitan secara sinergis.
Agarpelaksanaan tanggung jawab pendidikan seks yang berdasarkan AI-Quran dan Sunah ini berhasil, harus dipersiapkan sebuah metoda yang sempurna yang menata perilaku ini dalam setiap fase pertumbuhan psikologis. Selain itu, metoda ini harus selalu diawasi aplikasinya dalam kehidupan remaja, pemuda, dan orang dewasa sebagai kelompok ilmiah islami. Dan mereka pun harus menguasai metode dan—terlebih dahulu—harus mensterilkan diri melalui latihan-latihan yang matang, yaitu dengan menjaga kehormatan diri, istiqamah dalam berpikir dan beretika. Semuanya ini akan dapat memperbaiki perilaku seks di kalangan anak yang sudah mencapai umur dewasa ­di satu sisi dan bagi mereka yang belum mencapai dewasa di sisi lain. Seorang pemerhati masalah tanggung jawab pendidikan seks berkata, "Tanggung jawab pendidikan seks terletak di rumah, sekolah, jalan raya, semua lembaga sosial, dan media informasi”. Hal ini disebabkan kedua orangtua selalu hidup bersama anaknya. Oleh karena itu, ia memiliki banyak kesempatan untuk mengetahui setiap perkembangan anaknya, baik yang berkaitan dengan psikisnya atau yang berkenaan dengan fisiknya. Mereka berdua bisa melihat perkembangan seks pada anak-anaknya, sebagaimana dapat mengetahui tingkat kematangan atau kede­wasaan anaknya. Mereka sudah tentu ebih banyak jika dibandingkan orang lain."
"Adapun sekolah," lanjut sang pemerhati tersebut, "seorang pengajar memiliki banyak kesempatan untuk memperhatikan seorang anak ketika bersama dengan teman-temannya. Seorang pendidik dapat mengetahui tentang penyesuaian diri anak didiknya dengan lingkungan. Sehubungan dengan itu, orangtua dan pendidik dapat memberikan pendidikan seks dari arah yang berbeda, dan keduanya memungkinkan sekali bertukar pemikiran dalam membimbing anak."
"Selanjutnya pendekatan sosial dan informasi—khususnya pesawat televisi—memiliki pengaruh besar dalam pembinaan dan pendidikan anak. Suatu keniscayaan tidak menggunakan televisi dan media-media modern lainnya pada hal-hal yang membawa atau memicu pada kerusakan. Sangat konyol berupaya membina keluarga namun kemudian dirusak oleh media informasi. Dengan demikian, tindakan yang tepat adalah harus ada upaya sungguh-sungguh dari setiap lapisan masyarakat yang memiliki fungsi jelas serta terfokus pada sektor pendidikan dan akhlak yang bersumber dari nilai-nilai dan prinsip-prinsip kita."
Walaupun masalah tanggung jawab ini sangat jelas rambu-­rambunya diterangkan oleh AI-Quran dan Sunah, serta memberi­kan jaminan yang besar kepada kita untuk dapat menghadapi berbagai problematika lain. Tetapi hal itu terlambat direalisasi­kan. Hal ini disebabkan kebodohan dari sebagian masyarakat atau individu untuk melaksanakannya. Saat inilah kita mulai menolong masyarakat dalam melaksanakan ketentuan syariat dan memberikan perhatian terhadap hal itu. Hal itu semata untuk mendidik generasi-generasi terhormat yang akan menjadi tulang punggung bagi umat Islam.

Sumber :
·         Abi, 2007, Tingkat Aborsi di Indonesia Capai 2,3 Juta” Available at http://www.republika.co.id.html// [12/08/2007]
·         Artikel Lepas/INTISARI Maret 1997
·         Cbn. 2007. “Soal Seks, Wanita Masih Terpinggirkan”Available at http://www.radarbanjar.html//[12/08/2007]
·         Ceria—Cerita remaja Indonesia; situs informasi kesehatan seksual dan sosial remaja
·         FX. Rudi Gunawan, 2006, “Memahami seksualitas, menolak RUU APP”. Available athttp://www.sadar.com.html// [12/08/2007]
·         M. Quraish Shihab, 1996.  Wawasan Al-quran . Bandung; Mizan
·    Madan, Yusuf. 2004. Sex Education For Children, Panduan Islam bagi Orang Tua dalam Pendidikan Seks untuk Anak. Hikmah. Kelompok Mizan. Bandung.
·         Nuraini J, 2000, “Kebudayaan yang Maskulin, Macho, Jantan, dan Gagah” Available athttp://www.kunci.or.id.html// [12/08/2007]
·         Relawan YAI, 2001, Budaya dan Modernisasi Pengaruhi Perilaku Seks”.  Available athttp://www.ceria.com.html// [12/08/2007]
·         Relawan YAI, 2001, Gender”.  Available at http://www.ceria.com.html// [12/08/2007]
·         Senior, 2007. “Soal Seks, Wanita Masih Terpinggirkan”, Available at http://www.PortalCBN.com.html//[12/08/2007]
·         W. Berry, John, et all, 1999. Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

No comments:

Post a Comment