Friday, June 29, 2012

BAGAIMANA CARA MEMPERKENALKAN SEX EDUCATION PADA ANAK-ANAK? (4)

BAGAIMANA CARA MEMPERKENALKAN SEX EDUCATION PADA ANAK-ANAK? (4)
By : Yusuf Saeful Berlian


Pada dasarnya pendidikan seks yang terbaik adalah yang diberikan oleh orang tua sendiri. diwujudkan melalui cara hidup orang tua dalam keluarga sebagai suami-istri yang bersatu dalam perkawinan.
Pendidikan seks ini sebaiknya diberikan dalam suasana akrab dan terbuka dari hati ke hati antara orang tua dan anak. Kesulitan yang timbul kemudian adalah apabila pengetahuan orang tua kurang memadai (secara teoritis dan objektif) menyebabkan sikap kurang terbuka dan cenderung tidak memberikan pemahaman tentang masalah-masalah seks anak. Akibatnya anak mendapatkan informasi seks yang tidak sehat.
Melihat kenyataan tersebut, jelas keluarga membutuhkan pihak lain dalam melengkapi upaya pembelajaran alami terhadap hakikat seksualitas manusia. Pihak lain yang cukup berkompeten untuk menambah dan melengkapi pengetahuan orang tua, menjadi perantara antara orang tua dan anak dalam memberikan pendidikan seks adalah sekolah.
Sekolah merupakan lingkungan kedua setelah keluarga, di mana anak mendapatkan kasih sayang, pendidikan dan perlindungan. Peran sekolah adalah sebagai lembaga yang mempunyai situasi kondusif serta edukatif tempat berlangsungnya proses pendidikan demi kedewasaan anak didik. Oleh karena itu, pendidikan seks di sekolah merupakan komplemen dari pendidikan seks di rumah. Peran sekolah dalam memberikan pendidikan seks harus dipahami sebagai pelengkap pengetahuan dari rumah dan institusi lain yang berupaya keras untuk mendidik anak-anak tentang seksualitas dan bukan berarti bahwa sekolah mengambil porsi orang tua.
Pendidikan seks merupakan usaha pemberian infromasi kepada anak tentang kondisi fisiknya sebagai perempuan atau laki-laki. Dan konsekuensi psikologis yang berkaitan dengan kondisi tersebut. Secara umum, pendidikan seks terdiri atas penjelasan tentang organ reproduksi, kehamilan, tingkah laku seksual, dll.
Tidak ada batas waktu yang jelas kapan sebaiknya pendidikan seks diberikan pada anak. Menurut para ahli, pendidikan seks bisa dimulai ketika anak mulai bertanya tentang seks. Dan kelengkapan jawaban yang diberikan bisa disesuaikan dengan seberapa jauh keingintahuan anak. Dengan demikian pendidikan seks menuntut kepekaan dan keterampilan orangtua agar mampu memberi informasi dalam porsi tertentu, yang justru tidak membuat anak semakin bingung atau penasaran.
Kunci utamanya adalah memberi jawaban sejujurnya sesuai dengan perkembangan daya tangkap anak. Ada tips-tips yang berkaitan mengenai penyampaian pendidikan seks:
Pertama, Amati seberapa besar rasa ingin tahu anak sebelum memberi jawaban. Pertanyaan, “Saya berasal dari mana?” untuk anak usia dua tahun bisa dijawab singkat “Dari mama dan papa”. Tapi untuk anak usia empat tahun pada umumnya belum puas, sehingga perlu menambah dengan sedikit pengetahuan proses reproduksi. Tidak perlu diberikan penjelasan selengkapnya. Biarkan anak bertanya lagi, bila ia belum mengerti atau ingin tahu lebih banyak lagi.
Kedua, Dalam menjelaskan proses reproduksi, hindari penggunaan kata telur sebagai pengganti ‘ovum’, karena anak bisa mengganggapnya sama dengan telur ayam atau telur bebek. Tetap gunakan istilah biologi, dan jelaskan artinya, bila perlu tambahkan contoh.
Ketiga, Bila anak masih sulit memahami istilah biologi, orangtua dapat menggunakan kalimat sederhana, asalkan artinya tetap benar. Misalnya penjelasan tentang rahim dapat disederhanakan menjadi “Ibu punya tempat khusus di dalam perut untuk menyimpan bayi”.
Keempat, Bisa terjadi, anak menolak mempercayai penjelasan orangtua tentang asal-usul bayi. Hal ini wajar saja karena anak-anak senang berfantasi.
Empat poin diatas merupakan beberapa tips menyampaikan pendidikan seks pada anak. Sekarang ada pokok-pokok pendidikan seks yang bersifat praktis, yang perlu diterapkan dan diajarkan kepada anak, adalah:

1.    Menanamkan rasa malu pada anak.
Rasa malu harus ditanamkan pada anak sejak dini. Jangan biasakan anak-anak walau masih kecil, bertelanjang di depan orang lain; misalnya ketika keluar kamar mandi, berganti pakaian dan sebagainya. Membiasakan anak perempuan sejak kecil berbusana muslimah, menutup aurat juga penting untuk menanamkan  rasa malu sekaligus mengajari anak tentang auratnya.

2.    Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak perempuan.
Secara fisik maupun psikis, laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan mendasar. Perbedaan tersebut telah diciptakan sedemikian rupa oleh Allah Swt. Adanya perbedaan ini bukan untuk saling merendahkan, namun semata-mata karena fungsi yang berbeda yang kelak akan diperankannya. Mengingat perbedaan tersebut, Islam telah menghendaki agar laki-laki memiliki kepribadian maskulin dan perempuan memiliki kepribadian feminin. Islam tidak menghendaki wanita menyerupai laki-laki, begitu juga sebaliknya. Untuk itu harus dibiasakan dari kecil anak-anak berpakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Mereka juga harus diperlakukan sesuai dengan jenis kelaminnya. Ibnu Abbas ra. Berkata: “Rasulullah saw. melaknat laki-laki yang berlagak wanita dan wanita yang berlagak meniru laki-laki”. (H.R. al-Bukhari)

3.    Memisahkan tempat tidur mereka.
Pada usia ini merupakan usia saat anak mengalami perkembangan yang pesat. Anak mulai melakukan eksplorasi ke dunia luar. Anak tidak hanya berfikir tentang dirinya, tetapi juga mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya. Pemisahan tempat tidur merupakan upaya untuk menanamkan kesadaran pada anak tentang eksistensi dirinya. Anak juga dicoba untuk belajar melepaskan perilaku lekatnya (attachment behavior) dengan orang tuanya. Jika pemisahan tempat tidur dilakukan terhadap anak dengan saudaranya yang berbeda jenis kelamin, secara langsung ia telah ditumbuhkan kesadarannya tentang eksistensi perbedaan jenis kelamin.

4.    Mengenalkan waktu berkunjung (meminta izin dalam 3 waktu).
Tiga ketentuan waktu yang tidak diperbolehkan anak-anak untuk memasuki ruangan (kamar) orang dewasa kecuali meminta izin terlebih dulu adalah: sebelum shalat subuh, tengah hari dan setelah shalat isya. Aturan ini ditetapkan mengingat antara ketiga waktu tersebut merupakan waktu aurat, yakni waktu ketika badan atau aurat orang dewasa banyak terbuka. JIka pendidikan semacam ini ditanamkan pada anak maka ia akan menjadi anak yang memiliki rasa sopan santun dan etika yang luhur.

5.    Mendidik menjaga kebersihan alat kelamin.
Mengajari anak untuk menjaga kebersihan alat kelamin selain agar bersih dan sehat sekaligus juga mengajari anak tentang najis. Anak juga harus dibiasakan untuk buang air pada tempatnya (toilet training). Dengan cara ini akan terbentuk pada diri anak sikap hati-hati, mandiri, mencintai kebersihan, mampu menguasai diri, disiplin dan sikap moral yang memperhatikan tentang etika sopan santun dalam melakukan hajat.

6.    Mengenalkan mahram-nya.
Tidak semua perempuan berhak dinikahi oleh seorang laki-laki. Siapa saja perempuan yang diharamkan dan yang dihalalkan telah ditentukan oleh syariat Islam. Ketentuan ini harus diberikan pada anak agar ditaati. Dengan memahami kedudukan perempuan yang menjadi mahram, diupayakan agar anak laki-laki mampu menjaga pergaulan sehari-harinya dengan selain wanita yang bukan mahram-nya. Inilah salah satu bagian terpenting dikenalkannya kedudukan orang-orang yang haram dinikahi dalam pendidikan seks anak. Dengan demikian dapat diketahui dengan tegas bahasa Islam mengharamkan incest, yaitu pernikahan yang dilakukan antar saudara kandung atau mahram-nya. Siapa saja mahramtersebut, Allah Swt. telah menjelaskannya dalam surat An Nisa’ (4) ayat 22-23:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan*); saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
*) Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.

7.    Mendidik anak agar selalu menjaga pandangan mata.
Telah menjadi fitrah bagi setiap manusia untuk tertarik dengan lawan jenisnya. Namun, jika fitrah tersebut dibiarkan bebas lepas tanpa kendali, justru hanya akan merusak kehidupan manusia itu sendiri. Begitu pula dengan mata yang dibiarkan melihat gambar-gambar atau film yang mengandung unsur pornografi. Karena itu, jauhkan anak-anak dari gambar, film, atau bacaan yang mengandung unsur pornografi dan pornoaksi.

8.    Mendidik anak agar tidak melakukan ikhtilat.
Ikhtilat adalah bercampur-baurnya laki-laki dan perempuan bukan mahram tanpa adanya keperluan yang dibolehkan oleh syariat Islam. Perbuatan semacam ini pada masa sekarang sudah dianggap biasa. Mereka bebas mengumbar pandangan, saling berdekatan dan bersentuhan; seolah tidak ada lagi batas yang ditentukan syariah guna mengatur interaksi di antara mereka. Ikhtilat dilarang karena interaksi semacam ini bisa menjadi mengantarkan pada perbuatan zina yang diharamkan Islam. Karena itu, jangan biasakan anak diajak ke tempat-tempat yang di dalamnya terjadi percampuran laki-laki dan perempuan secara bebas.

9.    Mendidik anak agar tidak melakukan khalwat.
Dinamakan khalwat jika seorang laki-laki dan wanita bukan mahram-nya berada di suatu tempat, hanya berdua saja. Biasanya mereka memilih tempat yang tersembunyi, yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Sebagaimana ikhtilat, khalwat pun merupakan perantara bagi terjadinya perbuatan zina. Anak-anak sejak kecil harus diajari untuk menghindari perbuatan semacam ini. Jika bermain, bermainlah dengan sesama jenis. Jika dengan yang berlainan jenis, harus diingatkan untuk tidak ber-khalwat.

10.  Mendidik etika berhias.
Berhias, jika tidak diatur secara islami, akan menjerumuskan seseorang pada perbuatan dosa. Berhias berarti usaha untuk memperindah atau mempercantik diri agar bisa berpenampilan menawan. Tujuan pendidikan seks dalam kaitannya dengan etika berhias adalah agar berhias tidak untuk perbuatan maksiat.

DAFTAR PUSTAKA

Abi, 2007, Tingkat Aborsi di Indonesia Capai 2,3 Juta” Available at http://www.republika.co.id.html// [12/08/2007]
Artikel Lepas/INTISARI Maret 1997
Cbn. 2007. “Soal Seks, Wanita Masih Terpinggirkan”. Available at http://www.radarbanjar.html// [12/08/2007]
Ceria—Cerita remaja Indonesia; situs informasi kesehatan seksual dan sosial remaja
FX. Rudi Gunawan, 2006, “Memahami seksualitas, menolak RUU APP”. Available at http://www.sadar.com.html// [12/08/2007]
M. Quraish Shihab, 1996.  Wawasan Al-quran . Bandung; Mizan
Madan, Yusuf. 2004. Sex Education For Children, Panduan Islam bagi Orang Tua dalam Pendidikan Seks untuk Anak. Hikmah. Kelompok Mizan. Bandung.
Nuraini J, 2000, “Kebudayaan yang Maskulin, Macho, Jantan, dan Gagah” Available at http://www.kunci.or.id.html// [12/08/2007]
Relawan YAI, 2001, Budaya dan Modernisasi Pengaruhi Perilaku Seks”.  Available at http://www.ceria.com.html// [12/08/2007]
Relawan YAI, 2001, Gender”.      
           Available at http://www.ceria.com.html// [12/08/2007]
Senior, 2007. “Soal Seks, Wanita Masih Terpinggirkan”, Available at http://www.PortalCBN.com.html// [12/08/2007]
W. Berry, John, et all, 1999. “Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi”.Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

No comments:

Post a Comment